Jika kita bicara seputar keindahan
yang terhampar di bumi Kuningan, pastilah semua orang sepakat untuk
mengawalinya dengan membahas dinding barat, pembatas kabupaten ber-icon Aman
Sejuk Rindang Indah (ASRI) ini dengan Kabupaten Majalengka, yaitu Gunung
Ciremai.
Gunung cantik, surganya para
petualang ini memiliki ketinggian 3.078 Mdpl dan merupakan gunung tertinggi di
Jawa Barat yang pesonanya tak hanya bisa dinikmati dari Majalengka atau ranah
Kuningan saja, namun juga terlihat jelas oleh penumpang kereta api atau
kendaraan umum lainnya sepanjang jalur pantura sekitar Cirebon.
Ciremai termasuk gunung api Kuarter
aktif, tipe A (yakni gunung api magmatik yang masih aktif semenjak tahun 1600)
dan berbentuk strato. Gunung ini merupakan gunung api soliter ber-kawah ganda
(barat dan timur) dengan radius 600 meter dan kedalaman 250 meter. Dipisahkan oleh Zona Sesar Cilacap –
Kuningan dari kelompok gunung api Jawa Barat, yakni deretan Gunung Galunggung,
Gunung Guntur, Gunung Papandayan, Gunung Patuha hingga Gunung Tangkuban Perahu
yang terletak pada Zona Bandung.
Menurut ahli vulkanologi, Gunung
Ciremai merupakan gunung api generasi ketiga. Generasi pertama ialah suatu
gunung api Plistosen yang terletak di sebelah Gunung Ciremai, sebagai lanjutan
vulkanisma Plio-Plistosen di atas batuan Tersier. Vulkanisma generasi kedua
adalah Gunung Gegerhalang yang sebelum runtuh membentuk Kaldera Gegerhalang.
Dan vulkanisma generasi ketiga pada kala Holosen berupa Gunung Ciremai yang
tumbuh di sisi utara Kaldera Gegerhalang, yang diperkirakan terjadi pada
sekitar 7.000 tahun lalu.
Letusan Gunung Ciremai tercatat
sejak tahun 1698 dan terakhir kali terjadi tahun 1937, dengan selang waktu
istirahat terpendek 3 tahun dan terpanjang 112 tahun. Tiga letusan 1772, 1775
dan 1805 terjadi di kawah pusat, tetapi tidak menimbulkan kerusakan yang
berarti. Letusan uap belerang serta tembusan Fumarola baru di dinding kawah
pusat terjadi di tahun 1917 dan 1924.
Pada 24 Juni 1937 – 7 Januari 1938
terjadi letusan freatik di kawah pusat dan celah radial. Sebaran abu mencapai
daerah seluas 52,500 km bujursangkar. Tahun 1947, 1955 dan 1973 terjadi gempa
tektonik yang melanda daerah barat daya Gunung Ciremai, kejadian ini diduga
berkaitan dengan struktur sesar berarah tenggara – barat laut.
Sebuah gempa yang merusak sejumlah
bangunan di daerah Maja dan Talaga, sebelah barat Gunung Ciremai terjadi tahun
1990 dan 2001, dimana getarannya terasa hingga Desa Cilimus di timur Gunung
Ciremai.
Kini si cantik yang paling menjulang
di Tatar Pasundan dan terlihat menyendiri, karena jauh terpisah dari
gunung-gunung Sirkum Mediterania lainya, hingga sosoknya yang mengkerucut
begitu mencolok memancarkan aura magis serta menempati posisi terhormat di mata
masyarakat itu telah beristirahat lebih dari tujuh puluh tahun dari
aktivitasnya.
Habitat
Flora dan Fauna Ciremai
Menapakan kaki untuk menyentuh
lapisan tanah tertinggi di Jawa Barat, puncak Ciremai, terlebih dahulu kita
akan melalui ladang-ladang penduduk, kemudian melintasi tiga zona vegetasi
hutan yang berbeda, yaitu zona hutan pegunungan bawah (submontane forest),
hutan pegunungan atas (montane forest) dan hutan sub alpin (sub alpine forest).
Atau, hutan kawasan Taman Nasional
Gunung Ciremai yang termasuk dalam wilayah administratif Kab. Kuningan dan
Majalengka dengan luas ±15.500 Ha, serta berbatasan langsung dengan 25 desa di
Kuningan dan 20 desa di Majalengka ini, sebagian besar merupakan hutan alam
primer (virgin forest) yang dikelompokan ke dalam hutan hujan dataran rendah,
hutan hujan pegunungan dan hutan pegunungan sub alpin.
Di hamparan gundukan tanah yang
berdasarkan inventarisasi BKSDA Jabar II tahun 2006 berpotensi hidrologis,
wilayah Kuningan 156 mata air, 147 titik mengalir sepanjang tahun, wilayah
Majalengka terdapat 36 mata air produktif dan 7 sungai yang mengalir sepanjang
tahun ini memiliki ±119 koleksi tumbuhan, serta berbagai jenis satwa yang
diantaranya merupakan satwa langka.
Aneka ragam tumbuhan itu terdiri
dari 40 koleksi anggrek dan 79 koleksi non anggrek, termasuk koleksi tanaman
hias yang menarik seperti Kantong Semar (Nepenthaceae) dan Dadap Jingga (Erythrina
sp). Jenis-jenis anggrek yang mendominasi adalah jenis anggrek Vanda tricolor
juga Eria sp. Sedangkan jenis anggrek terestial yang mendominasi, yaitu
Calenthe triplicata, Macodes sp, Cymbidium sp dan Malaxis iridifolia.
Dari hasil penelitian Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) tahun 2001 menyebutkan, bahwa secara umum vegetasi
hutan Gunung Ciremai didominasi keluarga Huru (Litsea spp), Mareme (Glochidion
spp), Mara (Macaranga tanarius), Saninten (Castonopsis argentea), Sereh Gunung
(Cymbophogon sp), Hedychium sp, Ariasema sp dan Edelweis (Anaphalis sp).
Sementara satwa langka di kawasan
Gunung Ciremai, antara lain Macan Kumbang (Panthera pardus), Surili (Presbytis
comata) dan Elang Jawa (Spyzaetus bartelsi). Jenis satwa lainnya adalah Lutung
(Presbytis cristata), Kijang (Muntiacus muntjak), Kera ekor panjang (Macaca
fascicularis), Ular Sanca (Phyton molurus), Meong Congkok (Felis bengalensis),
Elang Hitam (Ictinaetus malayensis), Ekek Kiling (Cissa thalassina), Sepah Madu
(Perictorus miniatus), Walik (Ptilinopuscinctus), Anis (Zoothera citrina) dan berbagai
jenis burung berkicau lainnya.
Dikawasan ini juga terdapat ±20
jenis burung sebaran terbatas yang didalamnya terdapat 2 jenis burung teramcam
punah, yaitu Cica Matahari (Crocias albonotatus) dan Poksai Kuda (Garrulax
rufrifons), serta 2 jenis burung status rentan, yaitu Ciung Mungkal Jawa
(Cochoa azurea) dan Celepuk Jawa (Otus angelinae) sehingga kawasan TNGC menjadi
daerah penting untuk burung (Important Bird Area) dengan kode JID024 (Bird Life
International Indonesia tahun 1998).
Jalur
Pendakian Gunung Ciremai
Sejak puluhan tahun sensasi lereng
Ciremai nan terjal telah menyedot naluri pendakian para pecinta alam, terutama
generasi muda, dengan rata-rata kunjungan setiap tahunnya diperkirakan mencapai
15.000 orang. Dan untuk akses menuju puncak, pihak BTNGC telah menetapkan tiga
pintu, yaitu Jalur Palutungan dan Linggajati di Kabupaten Kuningan, serta Jalur
Apuy dari wilayah Kabupaten Majalengka.
Hingga saat ini, Jalur Palutungan
merupakan jalur utama paling populer, karena meski jarak tempuh lebih jauh,
namun dianggap paling landai. Jalur Apuy (barat) dikatakan jalur medium, sedang
Jalur Linggajati (timur) merupakan jalur paling terjal, tetapi membutuhkan
waktu tempuh yang lebih singkat.
Pada musim kemarau, lintasan terjal
itu menjadi berdebu, mengganggu penglihatan dan pernafasan. Sedang, pada musim
hujan jalan setapak itu menjadi licin, tentunya memberi banyak peluang untuk
tergelincir. Lintasan menjelang puncak menuntut dilalui dengan scrambling, juga tak bisa dianggap
enteng. Banyak kondisi batuan labil di lereng yang kecuramannya lebih dari
tujuh puluh derajat itu.
Cuaca buruk bisa datang
sewaktu-waktu, memicu terjadinya badai yang cukup besar dan membahayakan para
pendaki, terutama bagi mereka yang tengah berada di kawasan puncak. Sumber-sumber
air hanya dapat ditemui di bawah ketinggian 1.500 meter dpl, karena itu setiap
pendaki dituntut untuk membawa cadangan air sebanyak mungkin. Tentu saja ini
aka menambah beban pendakian sejak dari bawah.
Namun kenyataannya, kondisi-kondisi
semacam inilah yang membuat orang-orang menjadi tertantang untuk mendaki
Ciremai. Medan yang sulit justeru memberikan kesempatan untuk melatih manajemen
pendakian secara serius dan pada akhirnya semua itu akan membuktikan sejauh
mana kapasitas seorang pendaki gunung berhasil diuji.
Begitulah Gunung Ciremai, perpaduan
tanpa cacat antara tantangan dan kemolekan tubuhnya telah menjadi magnet yang
menarik orang-orang untuk terus berkunjung, menguji kemampuan dirinya dan
memuji kemegahan yang disuguhkan Allah SWT. Magnet itu tak pernah melemah,
bahkan dari hari ke hari kekuatannya semakin besar menyedot lebih banyak orang
untuk hadir di tubuh si cantik yang paling menjulang di Jawa Barat itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar