Senin, 06 Januari 2014

Si Cantik Paling Menjulang di Jawa Barat


Jika kita bicara seputar keindahan yang terhampar di bumi Kuningan, pastilah semua orang sepakat untuk mengawalinya dengan membahas dinding barat, pembatas kabupaten ber-icon Aman Sejuk Rindang Indah (ASRI) ini dengan Kabupaten Majalengka, yaitu Gunung Ciremai.
Gunung cantik, surganya para petualang ini memiliki ketinggian 3.078 Mdpl dan merupakan gunung tertinggi di Jawa Barat yang pesonanya tak hanya bisa dinikmati dari Majalengka atau ranah Kuningan saja, namun juga terlihat jelas oleh penumpang kereta api atau kendaraan umum lainnya sepanjang jalur pantura sekitar Cirebon.
Ciremai termasuk gunung api Kuarter aktif, tipe A (yakni gunung api magmatik yang masih aktif semenjak tahun 1600) dan berbentuk strato. Gunung ini merupakan gunung api soliter ber-kawah ganda (barat dan timur) dengan radius 600 meter dan kedalaman 250 meter. Dipisahkan oleh Zona Sesar Cilacap – Kuningan dari kelompok gunung api Jawa Barat, yakni deretan Gunung Galunggung, Gunung Guntur, Gunung Papandayan, Gunung Patuha hingga Gunung Tangkuban Perahu yang terletak pada Zona Bandung.
Menurut ahli vulkanologi, Gunung Ciremai merupakan gunung api generasi ketiga. Generasi pertama ialah suatu gunung api Plistosen yang terletak di sebelah Gunung Ciremai, sebagai lanjutan vulkanisma Plio-Plistosen di atas batuan Tersier. Vulkanisma generasi kedua adalah Gunung Gegerhalang yang sebelum runtuh membentuk Kaldera Gegerhalang. Dan vulkanisma generasi ketiga pada kala Holosen berupa Gunung Ciremai yang tumbuh di sisi utara Kaldera Gegerhalang, yang diperkirakan terjadi pada sekitar 7.000 tahun lalu.
Letusan Gunung Ciremai tercatat sejak tahun 1698 dan terakhir kali terjadi tahun 1937, dengan selang waktu istirahat terpendek 3 tahun dan terpanjang 112 tahun. Tiga letusan 1772, 1775 dan 1805 terjadi di kawah pusat, tetapi tidak menimbulkan kerusakan yang berarti. Letusan uap belerang serta tembusan Fumarola baru di dinding kawah pusat terjadi di tahun 1917 dan 1924.
Pada 24 Juni 1937 – 7 Januari 1938 terjadi letusan freatik di kawah pusat dan celah radial. Sebaran abu mencapai daerah seluas 52,500 km bujursangkar. Tahun 1947, 1955 dan 1973 terjadi gempa tektonik yang melanda daerah barat daya Gunung Ciremai, kejadian ini diduga berkaitan dengan struktur sesar berarah tenggara – barat laut.
Sebuah gempa yang merusak sejumlah bangunan di daerah Maja dan Talaga, sebelah barat Gunung Ciremai terjadi tahun 1990 dan 2001, dimana getarannya terasa hingga Desa Cilimus di timur Gunung Ciremai.
Kini si cantik yang paling menjulang di Tatar Pasundan dan terlihat menyendiri, karena jauh terpisah dari gunung-gunung Sirkum Mediterania lainya, hingga sosoknya yang mengkerucut begitu mencolok memancarkan aura magis serta menempati posisi terhormat di mata masyarakat itu telah beristirahat lebih dari tujuh puluh tahun dari aktivitasnya.

Habitat Flora dan Fauna Ciremai
Menapakan kaki untuk menyentuh lapisan tanah tertinggi di Jawa Barat, puncak Ciremai, terlebih dahulu kita akan melalui ladang-ladang penduduk, kemudian melintasi tiga zona vegetasi hutan yang berbeda, yaitu zona hutan pegunungan bawah (submontane forest), hutan pegunungan atas (montane forest) dan hutan sub alpin (sub alpine forest).
Atau, hutan kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai yang termasuk dalam wilayah administratif Kab. Kuningan dan Majalengka dengan luas ±15.500 Ha, serta berbatasan langsung dengan 25 desa di Kuningan dan 20 desa di Majalengka ini, sebagian besar merupakan hutan alam primer (virgin forest) yang dikelompokan ke dalam hutan hujan dataran rendah, hutan hujan pegunungan dan hutan pegunungan sub alpin.
Di hamparan gundukan tanah yang berdasarkan inventarisasi BKSDA Jabar II tahun 2006 berpotensi hidrologis, wilayah Kuningan 156 mata air, 147 titik mengalir sepanjang tahun, wilayah Majalengka terdapat 36 mata air produktif dan 7 sungai yang mengalir sepanjang tahun ini memiliki ±119 koleksi tumbuhan, serta berbagai jenis satwa yang diantaranya merupakan satwa langka.
Aneka ragam tumbuhan itu terdiri dari 40 koleksi anggrek dan 79 koleksi non anggrek, termasuk koleksi tanaman hias yang menarik seperti Kantong Semar (Nepenthaceae) dan Dadap Jingga (Erythrina sp). Jenis-jenis anggrek yang mendominasi adalah jenis anggrek Vanda tricolor juga Eria sp. Sedangkan jenis anggrek terestial yang mendominasi, yaitu Calenthe triplicata, Macodes sp, Cymbidium sp dan Malaxis iridifolia.
Dari hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tahun 2001 menyebutkan, bahwa secara umum vegetasi hutan Gunung Ciremai didominasi keluarga Huru (Litsea spp), Mareme (Glochidion spp), Mara (Macaranga tanarius), Saninten (Castonopsis argentea), Sereh Gunung (Cymbophogon sp), Hedychium sp, Ariasema sp dan Edelweis (Anaphalis sp).
Sementara satwa langka di kawasan Gunung Ciremai, antara lain Macan Kumbang (Panthera pardus), Surili (Presbytis comata) dan Elang Jawa (Spyzaetus bartelsi). Jenis satwa lainnya adalah Lutung (Presbytis cristata), Kijang (Muntiacus muntjak), Kera ekor panjang (Macaca fascicularis), Ular Sanca (Phyton molurus), Meong Congkok (Felis bengalensis), Elang Hitam (Ictinaetus malayensis), Ekek Kiling (Cissa thalassina), Sepah Madu (Perictorus miniatus), Walik (Ptilinopuscinctus), Anis (Zoothera citrina) dan berbagai jenis burung berkicau lainnya.
Dikawasan ini juga terdapat ±20 jenis burung sebaran terbatas yang didalamnya terdapat 2 jenis burung teramcam punah, yaitu Cica Matahari (Crocias albonotatus) dan Poksai Kuda (Garrulax rufrifons), serta 2 jenis burung status rentan, yaitu Ciung Mungkal Jawa (Cochoa azurea) dan Celepuk Jawa (Otus angelinae) sehingga kawasan TNGC menjadi daerah penting untuk burung (Important Bird Area) dengan kode JID024 (Bird Life International Indonesia tahun 1998).

Jalur Pendakian Gunung Ciremai
Sejak puluhan tahun sensasi lereng Ciremai nan terjal telah menyedot naluri pendakian para pecinta alam, terutama generasi muda, dengan rata-rata kunjungan setiap tahunnya diperkirakan mencapai 15.000 orang. Dan untuk akses menuju puncak, pihak BTNGC telah menetapkan tiga pintu, yaitu Jalur Palutungan dan Linggajati di Kabupaten Kuningan, serta Jalur Apuy dari wilayah Kabupaten Majalengka.
Hingga saat ini, Jalur Palutungan merupakan jalur utama paling populer, karena meski jarak tempuh lebih jauh, namun dianggap paling landai. Jalur Apuy (barat) dikatakan jalur medium, sedang Jalur Linggajati (timur) merupakan jalur paling terjal, tetapi membutuhkan waktu tempuh yang lebih singkat.
Pada musim kemarau, lintasan terjal itu menjadi berdebu, mengganggu penglihatan dan pernafasan. Sedang, pada musim hujan jalan setapak itu menjadi licin, tentunya memberi banyak peluang untuk tergelincir. Lintasan menjelang puncak menuntut dilalui dengan scrambling, juga tak bisa dianggap enteng. Banyak kondisi batuan labil di lereng yang kecuramannya lebih dari tujuh puluh derajat itu.
Cuaca buruk bisa datang sewaktu-waktu, memicu terjadinya badai yang cukup besar dan membahayakan para pendaki, terutama bagi mereka yang tengah berada di kawasan puncak. Sumber-sumber air hanya dapat ditemui di bawah ketinggian 1.500 meter dpl, karena itu setiap pendaki dituntut untuk membawa cadangan air sebanyak mungkin. Tentu saja ini aka menambah beban pendakian sejak dari bawah.
Namun kenyataannya, kondisi-kondisi semacam inilah yang membuat orang-orang menjadi tertantang untuk mendaki Ciremai. Medan yang sulit justeru memberikan kesempatan untuk melatih manajemen pendakian secara serius dan pada akhirnya semua itu akan membuktikan sejauh mana kapasitas seorang pendaki gunung berhasil diuji.
Begitulah Gunung Ciremai, perpaduan tanpa cacat antara tantangan dan kemolekan tubuhnya telah menjadi magnet yang menarik orang-orang untuk terus berkunjung, menguji kemampuan dirinya dan memuji kemegahan yang disuguhkan Allah SWT. Magnet itu tak pernah melemah, bahkan dari hari ke hari kekuatannya semakin besar menyedot lebih banyak orang untuk hadir di tubuh si cantik yang paling menjulang di Jawa Barat itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar