Kamis, 02 Oktober 2014

Prosesi pesta budaya Kawin Cai, Balongdalem-Jalaksana, Kuningan-Jawa Barat (02/10). (Yud's)

Minggu, 16 Maret 2014

Kembalinya Kemprongan Yang Hampir Hilang

Kembalinya Kemprongan Yang Hampir Hilang

Seni budaya Kemprongan, kesenian warisan leluhur Kuningan merupakan cikal bakal beberapa kesenian di Jawa Barat yang hampir hilang dan kini kembali diminati. (Photo : Yud's)

Dalam sebuah kesempatan Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Kabupaten Kuningan Drs. Teddy Suminar pernah mengatakan, jika sebenarnya seni budaya di Kuningan itu demikian banyak, bahkan dirinya berani bertaruh jika dibanding dengan Cirebon-pun tidak akan kalah. Cuma Teddy menyayangkan, karena masih banyak yang belum tergali, bahkan hilang terlindas kemajuan zaman.
“Jika diruntut seni budaya asli Kuningan itu ada ratusan yang belum tergarap, untuk itu pihak kami saat ini tengah melakukan berbagai cara agar semua asset seni budaya karuhun kita dapat tergali dan dapat dikelola dengan baik.” Ujar Teddy dalam sebuah kesempatan berbincang-bincang dengan penulis.
Kala itu Teddy-pun mencontohkan salah satu karya seni paling tua dari ranah Kuningan yang juga merupakan cikal bakal lahirnya beberapa kesenian di daerah lain. Kesenian itu adalah ‘Kemprongan’. Di paparkan Teddy, kesenian ini saat bergeser ke utara pantai menjadi Dombret, ke Karawang menjadi Ketuk Tilu.
Di uraikan Teddy, bahwa seni tradisional Kemprongan sendiri merupakan sebuah kesenian rakyat yang berasal dari Desa Sidareja, Kecamatan Ciawigebang, Kabupaten Kuningan yang biasa dimainkan setelah panen padi, dengan mepertunjukan tarian erotik sang ronggeng dan bisa diikuti oleh siapa saja. Para penonton bisa masuk ke dalam arena dengan memberikan saweran kepada sang ronggeng, serta biasanya pertunjukan berlangsung di bawah rumpun bambu dengan penerangan berasal dari oncor/obor yang disimpan di tengah-tengah lapangan.
Kesenian ini mengutamakan unsur gerak tari dan karawitan. Jumlah pemain dalam kemprongan biasanya sebanyak 15 orang, terdiri dari 10 orang wiyaga, 4 orang ronggeng atau lebih yang berfungsi sebagai penari dan 1 orang sebagai pemimpin rombongan dan seorang jawara pencak silat. Gamelan yang dipergunakan terdiri dari 2 saron barung, 1 penerus, 1 bonang barung, 1 gambang, rebab, seperangkat kendang, 1 ketuk, 1 kecrek dan seperangkat gong (1 gong besar, 1 gong kecil).
Seni Kemprongan belum diketahui pasti kapan mulai muncul dan siapa pelopornya. Tetapi pada awal abad ke-19 sampai tahun 1942 sempat tercatat sebagian para pelaku seni kemprongan pada jaman penjajahan Belanda dan Jepang, yaitu: Ny. Arsita, Sasmita Gumor, dan Wiriadi Sastra.
Kesenian tradisional ini selain menambah penghasilan juga bertujuan mempertemukan jodoh antara ronggeng-ronggeng kemprongan, yang sebagian besar gadis dan janda dengan penonton yang berminat mencari jodoh.
Dalam perjalanannya, menurut Teddy kesenian ini hampir hilang karena selama kurun waktu kurang lebih tujuh puluh tahun tidak pernah lagi ditampilkan, konon hal itu terjadi karena kesenian warisan leluhur ini sudah tidak ada lagi penerusnya
“Seperti kita ketahui bersama dengan adanya globalisasi kebudayaan, kebudayaan asing dapat dengan mudah merasuki generasi muda kita sehingga kesenian-kesenian lawas lambat laun mulai terabaikan,” kata Teddy.
Beruntungnya pada tahun 2012 kesenian Kemprongan dimasukan kedalam program pewarisan oleh Disparbud Jawa Barat dan langsung di tampilkan pada Selasa 10 April 2012 di Gedung Kesenian Kuningan dan di Taman Budaya Jawa Barat (Dago Tea House), sehingga Kemprongan bisa kembali bangkit dari tidur lamanya dan kembali bisa dinikmati pesona tampilannya.
Diakui Wihandi (61) salah seorang pewaris kesenian tradisional Kemprongan, bahwa bukan perkara mudah untuk mengembalikan kepercayaan para seniman pada kesenian Kemprongan, bahkan katanya hampir satu bulan dirinya berusaha untuk mengumpulkan pemain yang tersisa dan satu bulan lebih untuk mengajak para pemuda khususnya kaum remaja untuk terlibat dalam program pewarisan tersebut.
Pernyataan Wihandi dibenarkan Gugun Gumilang, S. Sen Pelaksana Teknis Lapangan Program Pewarisan Kesenian Tradisional, “Memang untuk melakukan program (pewarisan) ini sangat berat sekali, meski ada seniman dan dibantu pemerintah setempat, tetap saja ada kendala. Kalau tidak dari senimannya, dari pesertanya atau sebaliknya peserta program pewarisan ada tapi senimannya sudah tua dan sakit-sakitan,” katanya.
Berkat kerja keras yang tak mengenal lelah, akhirnya upaya itupun membuahkan hasil, paska masuknya kesenian asli Kuningan tersebut pada program pewarisan, serta ikhtiar pihak Disparbud Kuningan mengemas sebaik mungkin, bahkan sedikit memoles dan mengkolaborasikan dengan kesenian modern, akhirnya minat para remaja untuk turut serta mempelajari, mendalami dan melestarikan kesenian Kemprongan-pun kian meningkat, sehingga kini masyarakat dapat kembali menikmati seni tari dan karawitan nan dinamis itu. (Yud’s)



Minggu, 26 Januari 2014

(Pesona Asri)

Menjernihkan Hati Di Balongdalem

Jika bicara masalah keindahan alam Kuningan, pastilah tidak akan ada habis-habisnya. Dari mulai titik pusat kota, hingga menelusuri sudut-sudut pedesaan, diantara hamparan bukit di selatan dan timur, serta pemagar kokoh bagian barat, Ciremai anggun berdiri, sekaligus membersitkan sebuah kemegahan. Pesona kecantikan bumi Kajene seakan terbentang melebihi luas mata memandang, serta hampir seluruh ruang elok itu dipayungi kesejukan hawa yang menyajikan kenyamanan.

 Dan salah satu dari sekian sudut indah ranah Kuningan itu terletak di penghujung Desa Babakanmulya, Kecamatan Jalaksana. Sebuah situ yang juga merupakan bagian dari 40 situ yang telah direvitalisasi oleh Bupati Kuningan, H. Aang Hamid Suganda menghampar jernih diantara rindangnya pepohonan tua dan Taman Makam Pahlawan “Samudra”, bernama Balongdalem.

Saat diri hadir memasuki area keasrian yang begitu terjaga, kesegaran udara dan pesona mayapadalah yang nampak menyapa sekaligus menghipnotis rasa. Karena, tak cuma di lingkungan situs keindahan itu tersaji, namun bentangan sawah sepanjang Babakanmulya dan Jalaksana seakan turut andil memberi ciri.

Berbagai sarana penghibur hatipun tersedia diatas lahan seluas 6 Ha tersebut, mulai dari tontonan penentram jiwa, gemulai ikan-ikan jinak merenangi kejernihan air situ dan berkumpul saat ada pengunjung yang memberinya makanan. Dimana kita bisa menikmati itu tak hanya harus berada di bibir situ, namun bisa sambil duduk santai di saung-saung bambu yang berdiri tak jauh dari situ dan sering dipergunakan oleh para pengunjung untuk berteduh sambil mencari kenikmatan dengan makan bersama nasi liwet yang diramu lauk pauk ala kampung, seperti sambal terasi, ikan asin dan sayur asam.

Biasanya hal itu mereka lakukan seusai berenang di wahana kolam renang, atau sambil menunggu anak-anak mereka yang dengan cerianya bercengkrama di taman bermain anak. Karena memang untuk sarana hiburan anak di Balongdalem menyediakan itu, ditambah mini outbond sebagai pelengkap fasilitas Camping Ground, sehingga anak-anak yang datang ke tempat ini dapat melatih ketangkasan dan berbagi keceriaan.

Disini juga memang cocok untuk kegiatan gathering point, karena tersedia Bumi Perkemahan (Buper) atau Camping Ground dengan daya tampung 500 sampai 750 orang. Juga yang luar biasa, tersedianya taman terapi batu reflexy atau pusat terapi reumatik, sehingga tak salah jika pengelola lokasi ini memberi nama Obyek Wisata Balong Dalem ‘Edfunture Camp & Natural Bio Therapy’.

Namun sepertinya tidak berlabihan, bila tempat inipun disebut dengan tempat wisata sejarah dan wisata budaya, karena konon tempat yang sering dipakai para photograper untuk dijadikan tempat hunting, juga pemotoan pre wedding karena kuat kesan alam-nya ini memiliki nama Balongdalem diambil dari bahasa Sunda yang artinya balong itu kolam, sedang dalem adalah sebutan untuk petinggi zaman dahulu, atau status sosial seseorang. Dimana menurut para ahli sejarah Kuningan, hal ini berhubungan dengan keberadaan Sultan Matangaji atau Buyut Bayu yang datang dari Kesultanan Cirebon untuk menyebarkan agama Islam di Kuningan. Dan di situs inilah Buyut Bayu tinggal hingga wafatnya, serta dimakamkan dekat lokasi balong.

  Memang kalau ditelaah lebih dalam, situs Balongdalem merupakan areal yang di dalamnya terdapat mata air, dua monolit berdampingan dimana masyarakat setempat menamakannya batu kawin, hamparan tanah kosong yang disebut Karangmangu, sebuah kolam berukuran besar, serta tepat di sebelah utara-nya terdapat sebuah bangunan cungkup, yakni makam Buyut Bayu yang berorientasi utara selatan, ditandai adanya jirat dan dua nisan terbuat dari batu alam yang ditegakkan.

Selain itu, di tempat inilah secara berkala diadakan upacara adat “Kawin Cai”. Sebuah prosesi ritual mengawinkan atau menyatukan air dari mata air yang terdapat di Balongdalem dengan air yang didatangkan dari mata air Cibulan, Desa Manis Kidul. Dan budaya tradisional yang bertujuan agar kedua mata air tidak kering ini dipusatkan di Karangmangu, lokasi yang menurut cerita dahulunya merupakan tempat para ulama atau penyebar agama Islam dari berbagai tempat berkumpul.

Buper dan Situ Balongdalem memang obyek wisata yang pantas dikunjungi, sebab disamping kita akan mendapati kejernihan pikiran dan hati persembahan perpaduan antara pesona keindahan alam pegunungan dengan berlimpahnya air jernih yang tidak pernah kering sepanjang tahun. Juga mudah dicapai, mengingat letaknya yang tak jauh dari pusat kota Kuningan, serta berada tepat di tepi jalan raya beraspal pada lintasan jalan Desa Babakanmulya dan Jalaksana. (Yud’s)

Senin, 06 Januari 2014

Si Cantik Paling Menjulang di Jawa Barat


Jika kita bicara seputar keindahan yang terhampar di bumi Kuningan, pastilah semua orang sepakat untuk mengawalinya dengan membahas dinding barat, pembatas kabupaten ber-icon Aman Sejuk Rindang Indah (ASRI) ini dengan Kabupaten Majalengka, yaitu Gunung Ciremai.
Gunung cantik, surganya para petualang ini memiliki ketinggian 3.078 Mdpl dan merupakan gunung tertinggi di Jawa Barat yang pesonanya tak hanya bisa dinikmati dari Majalengka atau ranah Kuningan saja, namun juga terlihat jelas oleh penumpang kereta api atau kendaraan umum lainnya sepanjang jalur pantura sekitar Cirebon.
Ciremai termasuk gunung api Kuarter aktif, tipe A (yakni gunung api magmatik yang masih aktif semenjak tahun 1600) dan berbentuk strato. Gunung ini merupakan gunung api soliter ber-kawah ganda (barat dan timur) dengan radius 600 meter dan kedalaman 250 meter. Dipisahkan oleh Zona Sesar Cilacap – Kuningan dari kelompok gunung api Jawa Barat, yakni deretan Gunung Galunggung, Gunung Guntur, Gunung Papandayan, Gunung Patuha hingga Gunung Tangkuban Perahu yang terletak pada Zona Bandung.
Menurut ahli vulkanologi, Gunung Ciremai merupakan gunung api generasi ketiga. Generasi pertama ialah suatu gunung api Plistosen yang terletak di sebelah Gunung Ciremai, sebagai lanjutan vulkanisma Plio-Plistosen di atas batuan Tersier. Vulkanisma generasi kedua adalah Gunung Gegerhalang yang sebelum runtuh membentuk Kaldera Gegerhalang. Dan vulkanisma generasi ketiga pada kala Holosen berupa Gunung Ciremai yang tumbuh di sisi utara Kaldera Gegerhalang, yang diperkirakan terjadi pada sekitar 7.000 tahun lalu.
Letusan Gunung Ciremai tercatat sejak tahun 1698 dan terakhir kali terjadi tahun 1937, dengan selang waktu istirahat terpendek 3 tahun dan terpanjang 112 tahun. Tiga letusan 1772, 1775 dan 1805 terjadi di kawah pusat, tetapi tidak menimbulkan kerusakan yang berarti. Letusan uap belerang serta tembusan Fumarola baru di dinding kawah pusat terjadi di tahun 1917 dan 1924.
Pada 24 Juni 1937 – 7 Januari 1938 terjadi letusan freatik di kawah pusat dan celah radial. Sebaran abu mencapai daerah seluas 52,500 km bujursangkar. Tahun 1947, 1955 dan 1973 terjadi gempa tektonik yang melanda daerah barat daya Gunung Ciremai, kejadian ini diduga berkaitan dengan struktur sesar berarah tenggara – barat laut.
Sebuah gempa yang merusak sejumlah bangunan di daerah Maja dan Talaga, sebelah barat Gunung Ciremai terjadi tahun 1990 dan 2001, dimana getarannya terasa hingga Desa Cilimus di timur Gunung Ciremai.
Kini si cantik yang paling menjulang di Tatar Pasundan dan terlihat menyendiri, karena jauh terpisah dari gunung-gunung Sirkum Mediterania lainya, hingga sosoknya yang mengkerucut begitu mencolok memancarkan aura magis serta menempati posisi terhormat di mata masyarakat itu telah beristirahat lebih dari tujuh puluh tahun dari aktivitasnya.

Habitat Flora dan Fauna Ciremai
Menapakan kaki untuk menyentuh lapisan tanah tertinggi di Jawa Barat, puncak Ciremai, terlebih dahulu kita akan melalui ladang-ladang penduduk, kemudian melintasi tiga zona vegetasi hutan yang berbeda, yaitu zona hutan pegunungan bawah (submontane forest), hutan pegunungan atas (montane forest) dan hutan sub alpin (sub alpine forest).
Atau, hutan kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai yang termasuk dalam wilayah administratif Kab. Kuningan dan Majalengka dengan luas ±15.500 Ha, serta berbatasan langsung dengan 25 desa di Kuningan dan 20 desa di Majalengka ini, sebagian besar merupakan hutan alam primer (virgin forest) yang dikelompokan ke dalam hutan hujan dataran rendah, hutan hujan pegunungan dan hutan pegunungan sub alpin.
Di hamparan gundukan tanah yang berdasarkan inventarisasi BKSDA Jabar II tahun 2006 berpotensi hidrologis, wilayah Kuningan 156 mata air, 147 titik mengalir sepanjang tahun, wilayah Majalengka terdapat 36 mata air produktif dan 7 sungai yang mengalir sepanjang tahun ini memiliki ±119 koleksi tumbuhan, serta berbagai jenis satwa yang diantaranya merupakan satwa langka.
Aneka ragam tumbuhan itu terdiri dari 40 koleksi anggrek dan 79 koleksi non anggrek, termasuk koleksi tanaman hias yang menarik seperti Kantong Semar (Nepenthaceae) dan Dadap Jingga (Erythrina sp). Jenis-jenis anggrek yang mendominasi adalah jenis anggrek Vanda tricolor juga Eria sp. Sedangkan jenis anggrek terestial yang mendominasi, yaitu Calenthe triplicata, Macodes sp, Cymbidium sp dan Malaxis iridifolia.
Dari hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tahun 2001 menyebutkan, bahwa secara umum vegetasi hutan Gunung Ciremai didominasi keluarga Huru (Litsea spp), Mareme (Glochidion spp), Mara (Macaranga tanarius), Saninten (Castonopsis argentea), Sereh Gunung (Cymbophogon sp), Hedychium sp, Ariasema sp dan Edelweis (Anaphalis sp).
Sementara satwa langka di kawasan Gunung Ciremai, antara lain Macan Kumbang (Panthera pardus), Surili (Presbytis comata) dan Elang Jawa (Spyzaetus bartelsi). Jenis satwa lainnya adalah Lutung (Presbytis cristata), Kijang (Muntiacus muntjak), Kera ekor panjang (Macaca fascicularis), Ular Sanca (Phyton molurus), Meong Congkok (Felis bengalensis), Elang Hitam (Ictinaetus malayensis), Ekek Kiling (Cissa thalassina), Sepah Madu (Perictorus miniatus), Walik (Ptilinopuscinctus), Anis (Zoothera citrina) dan berbagai jenis burung berkicau lainnya.
Dikawasan ini juga terdapat ±20 jenis burung sebaran terbatas yang didalamnya terdapat 2 jenis burung teramcam punah, yaitu Cica Matahari (Crocias albonotatus) dan Poksai Kuda (Garrulax rufrifons), serta 2 jenis burung status rentan, yaitu Ciung Mungkal Jawa (Cochoa azurea) dan Celepuk Jawa (Otus angelinae) sehingga kawasan TNGC menjadi daerah penting untuk burung (Important Bird Area) dengan kode JID024 (Bird Life International Indonesia tahun 1998).

Jalur Pendakian Gunung Ciremai
Sejak puluhan tahun sensasi lereng Ciremai nan terjal telah menyedot naluri pendakian para pecinta alam, terutama generasi muda, dengan rata-rata kunjungan setiap tahunnya diperkirakan mencapai 15.000 orang. Dan untuk akses menuju puncak, pihak BTNGC telah menetapkan tiga pintu, yaitu Jalur Palutungan dan Linggajati di Kabupaten Kuningan, serta Jalur Apuy dari wilayah Kabupaten Majalengka.
Hingga saat ini, Jalur Palutungan merupakan jalur utama paling populer, karena meski jarak tempuh lebih jauh, namun dianggap paling landai. Jalur Apuy (barat) dikatakan jalur medium, sedang Jalur Linggajati (timur) merupakan jalur paling terjal, tetapi membutuhkan waktu tempuh yang lebih singkat.
Pada musim kemarau, lintasan terjal itu menjadi berdebu, mengganggu penglihatan dan pernafasan. Sedang, pada musim hujan jalan setapak itu menjadi licin, tentunya memberi banyak peluang untuk tergelincir. Lintasan menjelang puncak menuntut dilalui dengan scrambling, juga tak bisa dianggap enteng. Banyak kondisi batuan labil di lereng yang kecuramannya lebih dari tujuh puluh derajat itu.
Cuaca buruk bisa datang sewaktu-waktu, memicu terjadinya badai yang cukup besar dan membahayakan para pendaki, terutama bagi mereka yang tengah berada di kawasan puncak. Sumber-sumber air hanya dapat ditemui di bawah ketinggian 1.500 meter dpl, karena itu setiap pendaki dituntut untuk membawa cadangan air sebanyak mungkin. Tentu saja ini aka menambah beban pendakian sejak dari bawah.
Namun kenyataannya, kondisi-kondisi semacam inilah yang membuat orang-orang menjadi tertantang untuk mendaki Ciremai. Medan yang sulit justeru memberikan kesempatan untuk melatih manajemen pendakian secara serius dan pada akhirnya semua itu akan membuktikan sejauh mana kapasitas seorang pendaki gunung berhasil diuji.
Begitulah Gunung Ciremai, perpaduan tanpa cacat antara tantangan dan kemolekan tubuhnya telah menjadi magnet yang menarik orang-orang untuk terus berkunjung, menguji kemampuan dirinya dan memuji kemegahan yang disuguhkan Allah SWT. Magnet itu tak pernah melemah, bahkan dari hari ke hari kekuatannya semakin besar menyedot lebih banyak orang untuk hadir di tubuh si cantik yang paling menjulang di Jawa Barat itu.