Kembalinya
Kemprongan Yang Hampir Hilang
Seni budaya Kemprongan, kesenian warisan leluhur Kuningan merupakan cikal bakal beberapa kesenian di Jawa Barat yang hampir hilang dan kini kembali diminati. (Photo : Yud's)
Dalam sebuah kesempatan Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Kabupaten Kuningan Drs. Teddy Suminar pernah mengatakan, jika sebenarnya seni budaya di Kuningan itu demikian banyak, bahkan dirinya berani bertaruh jika dibanding dengan Cirebon-pun tidak akan kalah. Cuma Teddy menyayangkan, karena masih banyak yang belum tergali, bahkan hilang terlindas kemajuan zaman.
“Jika diruntut seni budaya asli Kuningan
itu ada ratusan yang belum tergarap, untuk itu pihak kami saat ini tengah
melakukan berbagai cara agar semua asset seni budaya karuhun kita dapat tergali
dan dapat dikelola dengan baik.” Ujar Teddy dalam sebuah kesempatan
berbincang-bincang dengan penulis.
Kala itu Teddy-pun mencontohkan salah
satu karya seni paling tua dari ranah Kuningan yang juga merupakan cikal bakal
lahirnya beberapa kesenian di daerah lain. Kesenian itu adalah ‘Kemprongan’. Di
paparkan Teddy, kesenian ini saat bergeser ke utara pantai menjadi Dombret, ke
Karawang menjadi Ketuk Tilu.
Di uraikan Teddy, bahwa seni tradisional
Kemprongan sendiri merupakan sebuah kesenian rakyat yang berasal dari Desa
Sidareja, Kecamatan Ciawigebang, Kabupaten Kuningan yang biasa dimainkan
setelah panen padi, dengan mepertunjukan tarian erotik sang ronggeng dan bisa
diikuti oleh siapa saja. Para penonton bisa masuk ke dalam arena dengan
memberikan saweran kepada sang ronggeng, serta biasanya pertunjukan berlangsung
di bawah rumpun bambu dengan penerangan berasal dari oncor/obor yang disimpan
di tengah-tengah lapangan.
Kesenian ini mengutamakan unsur gerak
tari dan karawitan. Jumlah pemain dalam kemprongan biasanya sebanyak 15 orang,
terdiri dari 10 orang wiyaga, 4 orang ronggeng atau lebih yang berfungsi
sebagai penari dan 1 orang sebagai pemimpin rombongan dan seorang jawara pencak
silat. Gamelan yang dipergunakan terdiri dari 2 saron barung, 1 penerus, 1
bonang barung, 1 gambang, rebab, seperangkat kendang, 1 ketuk, 1 kecrek dan
seperangkat gong (1 gong besar, 1 gong kecil).
Seni Kemprongan belum diketahui pasti
kapan mulai muncul dan siapa pelopornya. Tetapi pada awal abad ke-19 sampai
tahun 1942 sempat tercatat sebagian para pelaku seni kemprongan pada jaman
penjajahan Belanda dan Jepang, yaitu: Ny. Arsita, Sasmita Gumor, dan Wiriadi
Sastra.
Kesenian tradisional ini selain menambah
penghasilan juga bertujuan mempertemukan jodoh antara ronggeng-ronggeng
kemprongan, yang sebagian besar gadis dan janda dengan penonton yang berminat
mencari jodoh.
Dalam perjalanannya, menurut Teddy
kesenian ini hampir hilang karena selama kurun waktu kurang lebih tujuh puluh
tahun tidak pernah lagi ditampilkan, konon hal itu terjadi karena kesenian
warisan leluhur ini sudah tidak ada lagi penerusnya
“Seperti kita ketahui bersama dengan
adanya globalisasi kebudayaan, kebudayaan asing dapat dengan mudah merasuki
generasi muda kita sehingga kesenian-kesenian lawas lambat laun mulai
terabaikan,” kata Teddy.
Beruntungnya pada tahun 2012 kesenian
Kemprongan dimasukan kedalam program pewarisan oleh Disparbud Jawa Barat dan
langsung di tampilkan pada Selasa 10 April 2012 di Gedung Kesenian Kuningan dan
di Taman Budaya Jawa Barat (Dago Tea House), sehingga Kemprongan bisa kembali
bangkit dari tidur lamanya dan kembali bisa dinikmati pesona tampilannya.
Diakui Wihandi (61) salah seorang
pewaris kesenian tradisional Kemprongan, bahwa bukan perkara mudah untuk
mengembalikan kepercayaan para seniman pada kesenian Kemprongan, bahkan katanya
hampir satu bulan dirinya berusaha untuk mengumpulkan pemain yang tersisa dan
satu bulan lebih untuk mengajak para pemuda khususnya kaum remaja untuk
terlibat dalam program pewarisan tersebut.
Pernyataan Wihandi dibenarkan Gugun
Gumilang, S. Sen Pelaksana Teknis Lapangan Program Pewarisan Kesenian
Tradisional, “Memang untuk melakukan program (pewarisan) ini sangat berat
sekali, meski ada seniman dan dibantu pemerintah setempat, tetap saja ada
kendala. Kalau tidak dari senimannya, dari pesertanya atau sebaliknya peserta
program pewarisan ada tapi senimannya sudah tua dan sakit-sakitan,” katanya.
Berkat kerja keras yang tak mengenal
lelah, akhirnya upaya itupun membuahkan hasil, paska masuknya kesenian asli Kuningan
tersebut pada program pewarisan, serta ikhtiar pihak Disparbud Kuningan
mengemas sebaik mungkin, bahkan sedikit memoles dan mengkolaborasikan dengan
kesenian modern, akhirnya minat para remaja untuk turut serta mempelajari,
mendalami dan melestarikan kesenian Kemprongan-pun kian meningkat, sehingga kini
masyarakat dapat kembali menikmati seni tari dan karawitan nan dinamis itu. (Yud’s)